Daftar Isi:
Samudrapikiran.com – Penafsiran Ibnu ‘Asyur tentang Jilbab dan Aurat Wanita Muslimah – Di dalam Islam, pemahaman mengenai jilbab dan kewajiban menutup aurat merupakan topik yang sering dibahas dan sering menimbulkan perdebatan. Salah satu ulama terkemuka yang memberikan penjelasan mendalam tentang hal ini adalah Ibnu ‘Asyur.
Dalam tafsirnya terhadap Surah An-Nur ayat 31, Ibnu ‘Asyur menguraikan secara detail mengenai kewajiban mengenakan jilbab dan batasan aurat bagi wanita Muslimah. Artikel ini bertujuan untuk menggali pemahaman dan interpretasi Ibnu ‘Asyur mengenai jilbab, serta menjelaskan konteks di mana jilbab wajib dikenakan.
Dengan demikian, pembaca dapat memahami dengan lebih baik posisi jilbab dalam ajaran Islam dan mengapa menutup aurat merupakan aspek penting dalam praktik keagamaan.
Penafsiran An-Nur Ayat 31: Tafsir dan Implikasinya bagi Wanita Muslimah
Surah An-Nur ayat 31 mengandung perintah yang jelas bagi wanita Muslimah untuk menjaga pandangan, menjaga aurat, dan mengenakan hijab secara benar. Dalam ayat tersebut disebutkan:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya, menjaga kemaluannya, dan tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…” (Surah An-Nur ayat 31).
Menurut Ibnu ‘Asyur, istilah “zinah” atau perhiasan dalam ayat ini memiliki dua tafsiran: zinah muktasabah yang merujuk pada perhiasan yang dapat diperoleh seperti riasan wajah, dan zinah khilqiyyah yang merupakan perhiasan bawaan sejak lahir, seperti bentuk tubuh.
Tafsiran Zina Muktasabah
Jika “zinah” dimaknai sebagai zinah muktasabah, maka yang dikecualikan untuk ditampakkan adalah perhiasan yang biasanya tidak ditutupi, seperti wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa perhiasan yang diperbolehkan untuk tampak adalah yang berada pada bagian tubuh yang tidak ditutupi oleh wanita, yaitu wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki.
Tafsiran Zina Khilqiyyah
Namun, jika “zinah” diartikan sebagai zinah khilqiyyah atau perhiasan bawaan, maka sebagian ulama berpendapat bahwa yang diperbolehkan tampak adalah wajah, telapak tangan, serta menurut beberapa ulama, termasuk telapak kaki dan rambut. Meski demikian, Ibnu ‘Asyur tidak sependapat dengan pandangan bahwa rambut boleh ditampakkan secara umum.
Konteks Penggunaan Hijab dalam Pandangan Ibnu ‘Asyur
Ibnu ‘Asyur secara tegas menolak pandangan yang menyatakan bahwa wanita Muslimah tidak diwajibkan menutup aurat kepala, rambut, telinga, leher, dan dada. Ayat 31 dari Surah An-Nur justru menekankan kewajiban bagi wanita Muslimah untuk tidak asal-asalan dalam memakai hijab, yakni harus benar-benar menutupi rambut, leher, dan telinga.
Dalam tafsirnya, Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa wanita Muslimah harus mengikatkan kerudungnya dengan kuat sehingga tidak ada bagian leher yang tampak. Hal ini bertujuan agar wanita Muslimah tidak meniru cara berpakaian wanita dari bangsa Nabath, yang menurunkan kerudung mereka ke punggung, sehingga leher, dada, dan telinga mereka terlihat.
Pendapat tentang Rambut Wanita Muslimah
Dalam konteks tertentu, seperti saat berada di hadapan mahram, Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa bagian tubuh yang boleh terlihat lebih luas, termasuk rambut dan lengan. Namun, hal ini tidak berlaku saat wanita Muslimah berada di hadapan laki-laki non-mahram.
Pendapat yang mengatakan bahwa rambut boleh ditampakkan harus dipahami dalam konteks yang benar, yakni saat di hadapan mahram atau suami. Di hadapan laki-laki non-mahram, wanita Muslimah tetap wajib menutup auratnya sesuai dengan pandangan mazhab Maliki yang dianut oleh Ibnu ‘Asyur.
Kesimpulan
Dari analisis ini, dapat disimpulkan bahwa pandangan yang menyatakan Ibnu ‘Asyur tidak mewajibkan wanita Muslimah untuk berjilbab adalah keliru. Pendapat Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya justru menekankan pentingnya menutup aurat dengan benar. Pendapat yang membolehkan tampaknya rambut wanita Muslimah hanya berlaku dalam konteks tertentu, yaitu di hadapan mahram, dan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengenakan hijab.
Sumber : NU Online