Kajian Islam

Hukum Zakat Uang Kertas dalam Islam: Pandangan Ulama Klasik dan Kontemporer

Gambar : Freepik

Samudrapikiran.com – Zakat merupakan salah satu kewajiban dalam Islam yang bertujuan untuk membersihkan harta dan membantu kaum yang membutuhkan.

Namun, seiring perkembangan zaman, muncul pertanyaan mengenai status zakat uang kertas yang kini menjadi alat transaksi utama di dunia modern.

Apakah uang kertas memiliki status yang sama dengan emas dan perak dalam kewajiban zakat? Berikut pembahasan dari perspektif ulama klasik dan kontemporer.

Pandangan Ulama Klasik: Uang Kertas Bukan Objek Zakat

Dalam tradisi fiqih klasik, zakat hanya diwajibkan atas lima jenis harta, yaitu:

  1. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing/domba)
  2. Emas dan perak
  3. Hasil pertanian
  4. Buah anggur dan kurma
  5. Hasil perniagaan

Bagi para ulama klasik, uang emas dan perak hanya terkena zakat jika digunakan sebagai komoditas, bukan sebagai alat tukar. Oleh karena itu, mereka tidak memasukkan uang kertas ke dalam kategori harta yang wajib dizakati.

Pendapat ini juga ditegaskan dalam Muktamar Ke-4 Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1929 di Semarang yang menyatakan bahwa uang kertas bukan merupakan objek zakat karena dianggap sebagai alat tukar, bukan komoditas.

Syekh Muhammad Ali al-Maliki dalam karyanya Syamsul Isyraq fi Hukmit Ta’amul bil Arwaq menjelaskan:

“إِذَا عَلِمْتَ هَذَا كُلَّهُ أَنَّ الإِحْتِمَالَ الثَّانِي فِي وَرَقِ النَّوْطِ أَغْنِي احْتِمَالَ كَوْنِهِ كَالْقُلُوسِ هُوَ الاحْتِمَالُ الرَّاجِعُ وَالْأَحْوَطُ فِي الاحْتِمَالَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ فِيْهِ لِقُوَّةِ دَلِيْلِهِ…”

Artinya: “Jika Anda mengetahui ini semua, maka kemungkinan kedua bahwa uang kertas serupa dengan fulus (uang logam) lebih unggul dan lebih hati-hati, karena kuatnya dalil atasnya.” (Ahkamul Fuqaha, 2011: 66-67).

Pandangan Ulama Kontemporer: Uang Kertas Wajib Zakat

Perkembangan zaman membawa perubahan dalam cara manusia memahami uang dan transaksi. Ulama kontemporer berpendapat bahwa uang kertas bukan sekadar alat tukar, melainkan juga harta yang memiliki nilai intrinsik dan berpotensi berkembang. Oleh karena itu, mereka menganggap uang kertas sebagai objek zakat mal.

M. Ibrahim Al-Hafnawi dalam Fatawa Syar’iyyah Muashirah menyatakan:

“نعم تجب الزكاة في جميع الأوراق المالية إذا بلغت نصابا وحال عليها الحول، وذلك لأن الزكاة مرتبطة بالمالية ، وليس بالنقدية ، فهذه الأوراق المستعملة الآن الأموال، ومن ثم فالزكاة واجبة فيها”

Artinya: “Ya, wajib zakat pada seluruh uang bila mencapai nisab dan haul karena zakat terikat dengan harta, bukan hanya uang logam (emas dan perak). Uang yang dipergunakan sekarang adalah harta. Dari sana, zakat juga wajib dikenakan padanya.” (Fatawa Syar’iyyah Muashirah, Darul Hadits: 2012, halaman 231).

KH Maimoen Zubair juga menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, uang kertas memiliki kekuatan ekonomi yang sama dengan emas dan perak dalam memenuhi kebutuhan manusia dan memudahkan transaksi. Oleh karena itu, zakat mal juga berlaku atas uang kertas dengan ketentuan nisab dan haul yang sama:

“فبناء على ذلك كله فإنها تأخذ حكم الذهب والفضة، وتعتبر نقودا، تجب فيها زكاة المال كما تجب في الذهب والفضة…”

Artinya: “Atas dasar itu semua, uang (kertas) menempati hukum (uang) emas dan perak dan dianggap sebagai uang (emas dan perak). Padanya terkena wajib zakat mal sebagaimana kewajiban zakat emas dan perak.” (Al-Ulama al-Mujaddidun wa Majalu Tajdidihim wa Ijtihadihim, LTN Al-Anwar, Sarang: 2007, halaman 17).

Kesimpulan

Perbedaan pandangan mengenai zakat uang kertas antara ulama klasik dan kontemporer menunjukkan dinamika pemikiran Islam yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman.

Ulama klasik cenderung tidak mewajibkan zakat atas uang kertas karena menganggapnya hanya sebagai alat tukar. Sementara itu, ulama kontemporer menilai bahwa uang kertas memiliki nilai ekonomi yang setara dengan emas dan perak sehingga wajib dizakati.

Bagi umat Islam, mengikuti pandangan ulama kontemporer dalam hal zakat uang kertas dapat menjadi pilihan yang lebih relevan mengingat peran uang kertas dalam perekonomian modern.

Dengan demikian, zakat uang kertas dapat menjadi salah satu bentuk ibadah yang memastikan keadilan sosial dan kesejahteraan umat.

Sebelumnya

15 Rekomendasi Tempat Bukber di Jogja: Nikmat, Nyaman, dan Ramah Kantong

Selanjutnya

Pentingnya Legalitas Perusahaan untuk Keberlanjutan Bisnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Samudrapikiran.com