SamudraPikiran.com – Atha’ as-Silmi yang berkata: pada suatu hari saya melewati sebuah gang di Kufah. Saya melihat Ulayyan Al-Majnun (sang Sufi Gila) berdiri di hadapan dokter dan menertawakannya. Saya tidak paham dengan tawa Ulayyan. Maka saya menanyakan:

“Apa yang membuatmu tertawa?”
Ulayyan menjawab, “Orang sakit ini mengobati orang lain padahal dia sendiri berpenyakit.”

“Apakah Anda tahu obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya?”

Ulayyan menjawab, “Ya. Satu minuman. Jika dia meminumnya maka saya berharap dia akan sehat.”

“Mohon dijelaskan!” Ulayyan menjawab,

“Ambillah daun kefakiran, arak kesabaran, terminalia kerendahan hati, Bellerica pengetahuan dan Agaric (jamur) pemikiran. Tumbuklah bahan-bahan itu secara seimbang di lumpang penyesalan. Letakkanlah hasil tumbukan itu di cawan ketakwaan. Kucurkan padanya air rasa malu. Nyalakan kayu bakar rasa cinta di bawahnya, hingga berbuih. Lalu tuangkanlah ia ke cangkir keridhaan. Lalu dinginkan dengan kesegaran syukur. Sajikanlah ia di cawan pemikiran dan aduklah dengan sendok istighfar, niscaya engkau tidak akan kembali kepada maksiat selamanya.”

Dokter itu jatuh pingsan lalu meninggal dunia. Atha’ berkata, “Dua tahun setelah itu, saya berjumpa dengan “Ulayyan di saat tawaf. Kepadanya saya berkata.

“Engkau telah menasihati orang sekaligus membunuhnya.”

Ulayyan menjawab, “Justru saya menghidupkannya.”

“Bagaimana bisa?” Sanggahku.

“Saya melihatnya di dalam mimpi, setelah tiga hari kewafatan-nya. Dia memakai jubah dan sorban hijau. Di tangannya ada tongkat surga.

Kepadanya saya bertanya, ‘Kekasihku! Apa yang dilakukan Tuhan terhadapmu?”

Dokter itu menjawab, “Ulayyan! Saya telah sampai kepada Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dia mengampuni dosa- dosaku, menerima tobatku dan memaafkan kekeliruanku. Semua itu karena karena kasih sayang-Nya, bukan karena amal perbuatanku. Sekarang saya di sini di samping Nabi Muhammad Saw.”

Baca juga: Awal Mula Bahlul Al-Majnun Menjadi Gila karena Laila

Khalifah dan Ulayyan Al-Majnun

Abu Khaitsamah Zuhair ibn Harb berkata, “Khalifah Musa Athbiq al-Hadi (Khalifah Abbasiyah) memerintahkan bawahat mendatangkan Ulayyan dan Buhlul, lalu keduanya pun didatangkan.

Ketika mereka berdua masuk ke ruangan Khalifah, Khalifah bertanya kepada ‘Ulayyan, “Apa arti nama “Ulayyan?”

“Ulayyan menimpali, “Apa pula makna Musa Athbiq?”

Musa berkata, “Potonglah satu kaki orang yang banyak tingkah (ini)!” Ulayyan menoleh ke arah Buhlul dan berkata, “Ambillah (kaki itu) untukmu. Kami berdua masih punya tiga kaki.”

Meminta Do’a kepada Ulayyan Al-Majnun

Abu Ja’far as-Siyah al-Qazwini bercerita, “Di hari Raya, saya berjumpa dengan ‘Ulayyan-saat itu saya sangat merindukannya-ketika dia hendak pergi ke kuburan.

Sesampainya di tengah kuburam dia menengadahkan kepala dan berkata, ‘Ya Allah! Hanya untuk-Mu lah puasanya orang-orang yang berpuasa; berdirinya orang orang yang mendirikan shalat. Orang-orang telah mengorbankan kurbannya, memasuki rumah mereka dan berkasih sayang dengan keluarga mereka. Saya juga telah mempersembahkan kurban. Namun apa yang Engkau perbuat dengan kurbanku? Ya Allah! Saya bangun di pagi hari tanpa rumah dan tanpa makanan. Jadikan kurbanku mendapat ampunan-Mu.”

Ketika dia melihatku sedang memerhatikannya, dia loncat, dan pergi tanpa tujuan.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *