Wasiat dalam Islam: Panduan Lengkap Membagi Aset Sesuai Syariat

Samudrapikiran.com – Dalam tradisi Islam, wasiat bukan hanya sekadar amanat menjelang kematian, tetapi juga bagian dari ibadah yang harus memenuhi ketentuan hukum syariat. Wasiat menjadi penting karena menyangkut pengelolaan harta setelah seseorang meninggal dunia. Sayangnya, banyak praktik wasiat yang belum sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan dalam Islam.
Islam menetapkan sejumlah kriteria dan batasan dalam mewasiatkan harta. Tanpa pemenuhan syarat-syarat tersebut, maka wasiat yang dibuat bisa dianggap tidak sah menurut hukum Islam. Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memahami prinsip-prinsip dasar wasiat agar harta yang ditinggalkan benar-benar menjadi amal jariyah dan bukan sumber konflik bagi ahli waris.
1. Bebas dari Tanggungan Materi
Syarat utama seseorang sebelum mewasiatkan hartanya adalah terbebas dari segala bentuk tanggungan finansial. Tanggungan ini meliputi utang, nazar, dan kewajiban lain yang belum ditunaikan. Jika seseorang masih memiliki kewajiban yang belum terselesaikan, maka ia belum dibenarkan untuk berwasiat.
Sebagaimana dijelaskan dalam literatur fikih:
وَشُرِطَ فِي الموصي بقضاء حق ما مر
“Disyaratkan bagi pewasiat untuk menuntaskan tanggungan sebelumnya.”
(Zakariya Al-Anshari, Asna al-Mathalib, Beirut: Darul Fikr, Jilid 2, hal. 24)
Hal ini menunjukkan bahwa Islam mendahulukan hak orang lain sebelum seseorang dapat membagikan hartanya kepada pihak lain.
2. Kadar Maksimal Wasiat
Islam tidak memperbolehkan wasiat dilakukan secara sembarangan dalam jumlah dan penerimanya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Rasulullah SAW menegaskan batas maksimal wasiat:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّهِ … قَالَ فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ…
“Wahai Rasulullah, aku hendak mewasiatkan seluruh hartaku.” Beliau bersabda: “Jangan!” Aku berkata, “Setengahnya?” Beliau menjawab, “Jangan!” Aku bertanya lagi, “Sepertiganya?” Beliau menjawab, “Ya, sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak…”
(HR. Al-Bukhari)
Dari hadits ini, jelas bahwa sepertiga dari total kekayaan menjadi batas ideal untuk wasiat. Bahkan Rasulullah menyebut sepertiga itu sudah dianggap banyak, menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara hak ahli waris dan keinginan berderma melalui wasiat.
Namun, apabila wasiat ditujukan kepada ahli waris, maka pemberian lebih dari sepertiga pun bisa dibolehkan dengan syarat adanya persetujuan dari seluruh ahli waris. Sebaliknya, jika wasiat ditujukan kepada non-ahli waris, maka pemberian lebih dari sepertiga dimakruhkan.
“Jika diwasiatkan kepada selain ahli waris, maka sepertiga hukumnya sunnah muakkad, dan lebih dari itu dimakruhkan. Namun, jika kepada ahli waris, maka boleh melebihi sepertiga, dengan persetujuan dari ahli waris lainnya.”
(Nawawi bin Umar, Nihayatuz Zain, hal. 277)
3. Kriteria Pewasiat
Tidak semua orang dibolehkan berwasiat menurut syariat. Islam mensyaratkan beberapa hal pokok pada diri pewasiat, antara lain:
وشرط فِي الْمُوصي تَكْلِيف وحرية وَاخْتِيَار وَلَو كَانَ كَافِرًا حَرْبِيّا أَو غَيره
“Syarat dari seorang pewasiat adalah taklif (baligh dan berakal), merdeka, sadar dalam berwasiat, meskipun pewasiat adalah seorang kafir harbi atau lainnya.”
(Nawawi, Nihayatuz Zain, hal. 277)
Artinya, anak kecil, orang gila, atau seseorang yang berada dalam tekanan tidak diperbolehkan berwasiat. Ketentuan ini bertujuan agar wasiat benar-benar berasal dari kesadaran penuh dan tidak merugikan pihak lain.
4. Kriteria Penerima Wasiat
Sama halnya dengan pewasiat, penerima wasiat pun harus memenuhi sejumlah syarat agar wasiat tersebut sah secara syariat. Wasiat tidak bisa diberikan kepada siapa saja tanpa pertimbangan.
وتصح الوصية إلى من اجتمعت فيه خمس خصال: الإسلام، والبلوغ، والعقل، والحرية، والأمانة
“Wasiat sah diberikan kepada orang yang memiliki lima sifat: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan amanah.”
(Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, hal. 222)
Kelima sifat ini menjadi indikator bahwa penerima wasiat mampu dan pantas mengemban tanggung jawab atas harta yang diterimanya. Bahkan, dalam kitab tersebut disebutkan bahwa cukup dengan sifat amanah saja tanpa harus memeriksa keadilan seseorang secara detail.
Penutup: Wasiat sebagai Refleksi Tanggung Jawab Spiritual
Wasiat bukan sekadar persoalan administratif dalam pembagian warisan, melainkan bentuk tanggung jawab spiritual seorang Muslim terhadap harta yang dimilikinya. Dengan memahami syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam, seseorang dapat memastikan bahwa harta yang ditinggalkan benar-benar menjadi manfaat bagi yang menerima, tanpa menimbulkan konflik di kemudian hari.
Sebagaimana firman Allah dan sabda Rasul-Nya yang memandu umat Muslim agar berhati-hati dalam menata kehidupan akhir, wasiat menjadi bekal terakhir yang harus disusun dengan niat tulus dan pengetahuan syar’i yang cukup.
Wallahu a‘lam.