Dalam ilmu nahwu, bab dasar yang harus kita pahami, khususnya para pemula, adalah jumlah mufidah. Dalam Bahasa Indonesia, jumlah mufidah sama dengan kalimat, tepatnya ‘kalimat yang sempurna’. Lantas, apa yang dimaksud dengan kalimat sempurna? Sebagai gambaran, dalam Bahasa Indoensia, ketika kalimat itu terdiri dari minimal Subjek dan Predikat, maka kalimat tersebut sudah bisa dikatakan sempurna. Selanjutnya, mari kita mengenal jumlah mufidah beserta contoh-contohnya.

Pengertian dan Syarat Jumlah Mufidah

Dalam Bahasa Arab, jumlah mufidah disebut juga dengan istilah kalam. Lantas, apa pengertiannya? Secara bahasa, jumlah mufidah terdiri atas dua kata, yakni jumlah & mufidah. Jumlah artinya kalimat sedang mufidah artinya bermanfaat.

Jika dijabarkan berdasarkan penjasan dalam kitab Matn Al-Jurumiyah, kalam atau jumlah mufidah mempunyai beberapa syarat. Di antaranya adalah:

Al Lafdzu

Artinya, kalam atau jumlah mufidah harus berupa lafadz, yakni suara atau ucapan yang keluar dari mulut dan tersusun atas huruf hijaiyah. Contoh: زَيْدٌ

Al Morokkabu

Artinya, jumlah mufidah tidak hanya terdiri dari satu kata, tetapi dua atau lebih. Contoh: زَيْدٌ قَائِمٌ

Jika زَيْدٌ dan قَائِمٌ dipisah, maka setiap lafadz tersebut bukan termasuk jumlah mufidah. Namun, ketika kita menggabungnya menjadi زَيْدٌ قَائِمٌ kita dapat menyebutnya sebagai jumlah mufidah. Kenapa? Karena telah murakkab atau tersusun atas dua kata/lafadz.

Al Mufidu

Artinya, jumlah mufidah harus memiliki makna atau faidah. Dalam artian, maksud dari kalimat tersebut jelas sehingga orang yang mendengar pun paham.

زَيْدٌ قَائِمٌ

Jika diartikan, maknanya yakni ‘Zaid adalah oang yang berdiri’. Kalam atau kalimat (dalam bahasa indonesia) tersebut sudah jelas maksudnya. Orang akan paham bahwa ‘yang berdiri itu bernama Zaid’.

Lalu, bagaimana contoh kalam yang tidak mufid? Perhatikan susunan lafadz berikut:

اِنْ قَامَ زَيْدٌ

Artinya adalah jika Zaid berdiri. Apakah sudah jelas maksudnya? Belum, karena di situ belum ada penjelasan apa yang terjadi selanjutnya. Sebagai catatan, اِنْ (jika) termasuk huruf syarat yang mana masih membutuhkan susunan lafadz lain sebagai jawabannya. Misalnya dalam kalimat bahasa Indonesia, seperti:
Jika Zaid berdiri, maka aku juga berdiri

Bil Wadh’i

Ulama nahwu menafsirkannya dalam dua hal, yaitu:

Memiliki maksud dan tujuan

Artinya, jumlah mufidah itu diucapkan atas kehendak dan mengandung tunuan terntentu. Jika orang yang tidak sadar (seperti dalam keadaan mabuk) mengucapkan kalimat tertentu, maka perkataan tersebut tidak termasuk kalam karena ia tengah lalai dan tidak paham tujuannya.

Berbahasa arab

Artinya, jumlah mufidah harus menggunakan bahasa arab dengan kaidah yang tepat dan jelas penyampaiannya.

Contoh:

مَنْ جَدَّ وَجَدَ

Apakah ucapan di atas bisa kita sebut sebagai jumlah mufidah? Jawabannya adalah ya. Ucapan tersebut sudah memenuhi ke empat syarat yang sudah tertera sebelumnya, yaitu lafadz, murokkab, mufid, dan bil wadh’i.

Latihan dan Pembahasan

Setelah belajar mengenal jumlah mufidah, selanjutnya, kita perlu memperkuat pemahaman. Di bawah ini adalah beberapa contoh ucapan. Mari kita tentukan apakah termasuk jumlah mufidah atau tidak beserta alasannya!

1. الصلاة عماد الدين
2. من صام رمضان
3.  قبة المسجد
4. pisang goreng
5. اِجْلِسْ

Jawaban:

Ucapan nomor satu disebut kalam. Itu karena merupakan lafadz, tersusun (murokkab), berfaidah atau jelas maknanya (mufid), dan juga mempunyai tujuan (bil wadh’i).

“Shalat merupakan tiang agama”

Dari kalimat atau arti ucapan di atas, kita paham bahwa yang menjadi tiang agama adalah shalat.

Untuk contoh nomor 2 bukanlah termasuk jumlah mufidah. Kenapa? Mari kita artikan terlebih dahulu, yakni:

“Barang siapa yang puasa di bulan Ramadhan”

Jika dijabarkan, ucapan itu hanya memenuhi 2 syarat, yaitu lafadz dan murokkab. Namun, apa maksud perkataan itu? Apa yang terjadi jika seseorang puasa di bulan Ramadhan? Jawaban atau kejadian selanjutnya tidak dijelaskan sehingga masih menimbulkan tanda tanya. Maka, ucapan di atas bukan jumlah mufidah karena belum memenuhi syarat selanjutnya, yaitu mufid dan bil wadh’i.

Selanjutnya, nomor 3, yaitu “Kubah masjid”.
Ada apa dengan kubah masjid? Tidak ada penjelasan selanjutnya. Maka, gabungan lafadz tersebut tidak bisa kita sebut sebagai jumlah mufidah.

Secara kasat mata, kita sudah tahu jawabannya bahwa ‘pisang goreng’ dalam kalimat nomor 4 bukanlah jumlah mufidah karena tidak tersusun atas huruf hijaiyah.

Yang terakhir, bagaimana dengan nomor 5? Ucapan tersebut merupakan fi’il amar. Meskipun cuma satu kata, lafadz nomor 5 sudah jelas maksud & tujuannya. “Duduklah” artinya menyuruh seseorang (kamu) untuk duduk. Jadi, subjek dan predikatnya sudah terpenuhi.

Bagaimana? Mengenal jumlah mufidah sangat mudah, bukan? Yang harus kita pahami adalah jumlah mufidah akan sempurna jika tersusun sesuai kaidahnya, minimal subjek dan predikat (fa’il dan fi’il).

Referensi:
Nahwu Wadhih jilid 1
Matn Al-Jurumiyah

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *