Warta

Pemprov Jabar Rancang Desa Istimewa, KB Jadi Syarat Utama Terima Hadiah Rp10 Miliar

Gambar : Kilat

Samudrapikiran.com — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali mencuri perhatian publik dengan usulan kebijakan kontroversial namun sarat makna. Dalam upaya menciptakan keseimbangan tanggung jawab dalam keluarga, Dedi mengusulkan agar vasektomi—kontrasepsi permanen bagi pria—menjadi syarat bagi keluarga penerima bantuan sosial (bansos) hingga beasiswa dari pemerintah provinsi.

Kebijakan ini ia lontarkan dalam forum rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat bertajuk “Gawe Rancage Pak Kades jeung Pak Lurah” di Pusdai Jawa Barat, yang turut dihadiri oleh jajaran kementerian pusat, termasuk Menteri Sosial Saifullah Yusuf, Menteri Desa Yandri Susanto, Kepala BKKBN Wihaji, serta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Keadilan Reproduksi: Bukan Beban Perempuan Saja

Bagi Dedi, gagasan ini bukan semata soal pengendalian penduduk, melainkan bentuk keberpihakan terhadap perempuan dan upaya menyeimbangkan tanggung jawab dalam urusan reproduksi.

“Jangan membebani reproduksi hanya perempuan. Perempuan jangan menanggung beban reproduksi, sabab nu beukian mah salakina. Harus laki-lakinya. Kenapa harus laki-laki? Karena misalnya nanti perempuannya banyak problem. Misalnya lupa minum pilnya atau lainnya,” ujar Dedi dikutip dari https://incaberita.co.id/category/lokal/.

Dalam pandangan Dedi, KB tidak lagi cukup dibebankan pada istri. Ia ingin memastikan bahwa pria turut andil, khususnya melalui metode vasektomi, sebelum menerima berbagai jenis bantuan dari pemerintah daerah.

“Jadi ketika nanti kami menurunkan bantuan, dicek dulu. Sudah ber-KB atau belum. Kalau sudah ber-KB boleh terima bantuan. Jika belum ber-KB, KB dulu,” ujarnya.
“KB-nya harus KB laki-laki, KB pria. Ini serius. Walaupun saya tidak punya istri, saya berpihak kepada kaum perempuan, tapi perempuan yang memiliki tekad kuat mewujudkan kualitas dan kesejahteraan keluarga,” tambahnya.

Integrasi Program Bansos dan KB

Dedi menekankan bahwa semua bentuk bantuan akan diintegrasikan dengan program Keluarga Berencana. Mulai dari sambungan listrik baru, beasiswa pendidikan, bantuan rumah tidak layak huni (rutilahu), hingga bantuan non-tunai lainnya, semua akan diberikan dengan syarat partisipasi aktif dalam program KB.

“Ada sekitar 150 ribu penerima bantuan sambungan listrik baru dari Pemprov. Syaratnya, boleh tapi harus KB dulu. Anak-anaknya nanti ada yang beasiswa, boleh tapi ibunya harus KB dulu. Nanti misalnya ada penerima bantuan masih usia produktif, boleh tapi harus KB dulu. Nanti ada bantuan rutilahu terintegrasi provinsi dan kabupaten/kota, boleh tapi harus KB dulu,” ungkapnya.

Kebijakan ini menurut Dedi bukan semata soal pembatasan, melainkan demi efisiensi anggaran dan pemerataan bantuan. Ia menyoroti adanya ketimpangan penerima bantuan yang terus berulang pada keluarga yang sama.

“Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan non-tunai keluarga dia, nanti uang negara mikul di satu keluarga,” katanya.

Respons terhadap Realitas Sosial

Dalam pidatonya, Dedi juga menyoroti realitas di lapangan tentang keluarga miskin dengan anak yang sangat banyak. Ia bercerita tentang sebuah keluarga di Majalengka dengan 11 anak, dan menyindir ketidakseimbangan antara kemampuan ekonomi dan jumlah anak.

“Pak Menteri, saya tidak tahu kok rata-rata keluarga miskin itu anaknya banyak. Sementara orang kaya susah punya anak. Sampai bayi tabung bayar Rp2 miliar tetap tidak punya anak. Saya pernah menemukan satu keluarga punya 22 anak, punya 16 anak. Saya di Majalengka bertemu dengan anak-anak yang jualan kue di alun-alun. Akhirnya saya bertemu dengan orang tuanya yang lagi di kontrakan. Bapaknya ada, anaknya jualan kue. Ternyata sudah punya 10 anak dan ternyata ibunya lagi hamil lagi yang ke-11,” ujar Dedi.

Dedi juga menyampaikan bahwa biaya persalinan sesar yang tinggi kerap membebani keluarga tidak mampu, sehingga kebijakan pengendalian kelahiran ini dianggapnya sebagai solusi logis dan preventif.

“Uang segitu bisa untuk bangun rumah kan. Makannya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup, menafkahi dengan baik,” tegasnya.

Desa Istimewa, Hadiah Rp10 Miliar untuk Desa Progresif

Selain itu, Dedi juga merancang skema insentif bagi desa yang berhasil menjalankan indikator pembangunan kesejahteraan, termasuk keberhasilan dalam program KB. Desa yang lolos penilaian akan diganjar predikat Desa Istimewa dan menerima hadiah stimulus hingga Rp10 miliar.

“Pak Menteri, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar akan memberikan hadiah stimulus pembangunan sebesar Rp10 miliar untuk Desa Istimewa. Penilaian akan dimulai dari desa, dari kecamatan. Juara kecamatan akan mendapat hadiah Rp200 juta. Juara kabupaten/kota akan mendapat hadiah stimulus Rp1 miliar. Dan, nanti akan diumumkan desa yang paling sukses dan desa yang paling gagal,” papar Dedi.

Perspektif Baru dalam Kebijakan Publik

Usulan Dedi Mulyadi ini membuka ruang perdebatan mengenai peran gender dalam kebijakan publik, efisiensi anggaran, serta pentingnya pendekatan sistemik dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Meski kontroversial, gagasan ini menandai arah baru dalam reformasi distribusi bansos dengan pendekatan yang lebih struktural dan berbasis kontrol kelahiran yang merata antara laki-laki dan perempuan.

Dengan kebijakan ini, Dedi tidak hanya ingin mengatur bantuan sosial, tetapi juga ingin membangun tatanan sosial baru yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sebelumnya

MPP DPR : Inovasi Pelayanan Publik Terpadu untuk Masyarakat Modern

Selanjutnya

M. Rizal Ma’ruf Baharudin : Merajut Simfoni Islam, Sains, dan Teknologi dalam Arus Peradaban Digital

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Samudrapikiran.com