Pendidikan

Sejarah Subak Bali . Irigasi Tradisional yang Masih Relevan di Era Modern

Samudrapikiran.com – Bali dikenal tidak hanya dengan keindahan pantai dan budayanya, tetapi juga dengan sistem pertanian unik yang disebut Subak. Sistem pengairan tradisional ini bukan sekadar metode teknis dalam mengalirkan air ke sawah, melainkan cerminan dari filosofi hidup masyarakat Bali yang menjunjung keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.

Lebih dari Sekadar Irigasi

Subak adalah organisasi tradisional petani di Bali yang bertugas mengatur distribusi air ke lahan pertanian. Keunikan Subak terletak pada keterpaduannya dengan aspek sosial, budaya, hingga keagamaan. Setiap tahap pertanian, mulai dari mengolah tanah, menanam padi, hingga panen, selalu disertai dengan ritual keagamaan.

Ritual tersebut bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi bagian dari filosofi Tri Hita Karana—konsep harmoni yang menekankan tiga hal: hubungan baik dengan Tuhan (Parahyangan), dengan sesama manusia (Pawongan), serta dengan lingkungan (Palemahan). Filosofi ini sekaligus menjadi dasar keberlanjutan Subak yang tetap lestari hingga kini.

Jejak Sejarah Subak di Bali

Bukti keberadaan sistem Subak dapat ditelusuri sejak abad ke-9 Masehi. Salah satu prasasti tertua, Prasasti Sukawana A1 tahun 882 M, menyebut istilah “Huma” yang diartikan sebagai sawah. Kemudian, prasasti lain seperti Prasasti Pandak Badung tahun 1071 M sudah menyebut istilah “Kasuwakan” yang kemudian berkembang menjadi “Kasubakan” atau Subak.

Catatan ini menunjukkan bahwa pengelolaan irigasi di Bali sudah berlangsung lebih dari seribu tahun. Bahkan, kemampuan leluhur Bali dalam membangun terowongan, bendungan, dan saluran air sederhana membuktikan adanya kearifan lokal yang setara dengan sistem irigasi modern.

Selain prasasti, naskah lontar berjudul Kawit Babad Hindu Wenten Ring Bali juga menyebutkan istilah “pekaseh”, yaitu sebutan bagi pemimpin Subak yang mengatur pembagian air. Hal ini menegaskan bahwa sejak dahulu, Subak tidak hanya berfungsi sebagai teknis pengairan, tetapi juga sebagai lembaga sosial yang mengatur kehidupan petani.

Subak dan Lanskap Bali yang Mendunia

Salah satu wujud nyata dari sistem Subak adalah terasering sawah yang kini menjadi ikon pariwisata Bali. Lanskap persawahan bertingkat di Tegalalang, Jatiluwih, hingga Pupuan tidak hanya indah dipandang, tetapi juga bukti dari manajemen air yang cerdas.

Keunikan inilah yang kemudian membuat UNESCO menetapkan Subak sebagai Warisan Budaya Dunia pada tahun 2012. Subak diakui sebagai contoh nyata bagaimana kearifan lokal mampu menciptakan harmoni antara manusia, budaya, dan alam.

Subak dalam Konteks Modern

Meskipun berakar dari tradisi kuno, Subak masih relevan hingga saat ini. Pemerintah daerah di Bali bahkan telah menerbitkan peraturan daerah untuk menjaga eksistensi Subak. Dalam aturan tersebut, Subak diakui sebagai lembaga adat yang sah dengan struktur organisasi, wilayah kerja, hingga tempat suci (pura subak).

Menariknya, perkembangan Subak tidak berhenti pada masa lampau. Beberapa Subak baru masih dibentuk hingga era modern, seperti Subak Timbul Baru di Gianyar (1971) dan Subak Giri Mertha Yoga di Bangli (1995). Fakta ini menunjukkan bahwa sistem tradisional ini masih adaptif dalam menjawab kebutuhan petani masa kini.

Pelajaran dari Subak untuk Dunia

Subak bukan hanya kebanggaan Bali, tetapi juga menjadi inspirasi global tentang bagaimana pertanian berkelanjutan bisa diwujudkan melalui kearifan lokal. Dengan semangat gotong royong, masyarakat Bali berhasil menjaga kelestarian lingkungan sekaligus menjamin ketersediaan pangan.

Di tengah tantangan modernisasi dan perubahan iklim, Subak memberi pesan penting: bahwa kemajuan tidak harus melupakan tradisi, dan kelestarian alam bisa terwujud jika manusia hidup selaras dengan lingkungannya.

Sebelumnya

10 HP dengan Kamera Terbaik 2025 Versi DXOMark, Siapa Paling Unggul?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Samudrapikiran.com