Dhorof Zaman dan Dhorof Makan Beserta Contohnya dalam Ilmu Nahwu

Samudrapikiran.com – Dalam tata bahasa Arab atau ilmu nahwu, terdapat satu konsep penting yang sering dipelajari ketika membahas keterangan waktu dan tempat, yaitu dhorof. Meski sekilas terlihat sederhana, pemahaman terhadap dhorof zaman / ظرف الزمان (waktu) dan dhorof makan / ظرف المكان (tempat) memiliki peran penting dalam menyusun kalimat yang sesuai kaidah nahwu.
Konsep dhorof banyak ditemui dalam kitab klasik seperti Alfiyah Ibnu Malik maupun Jurumiyah, di mana ia juga disebut sebagai maf’ul fiih. Istilah ini menunjukkan objek yang menjelaskan kapan atau di mana suatu peristiwa terjadi. Hal ini berkaitan erat dengan makna huruf fii (في) yang berarti “di” atau “dalam”.
Apa Itu Dhorof Zaman?
Dhorof zaman adalah isim (kata benda) yang digunakan untuk menunjukkan waktu berlangsungnya suatu peristiwa. Secara gramatikal, ia selalu dinashabkan karena berfungsi sebagai tempat terjadinya pekerjaan (fi’il) secara tidak langsung.
Contoh kata dhorof zaman:
-
اليوم (hari ini)
-
غدًا (besok)
-
صباحًا (pagi)
-
أبدًا (selamanya)
Contoh dalam kalimat:
سافرتُ غدًا إلى مكة
(Saya bepergian besok ke Mekkah)
Kata غدًا (besok) berfungsi sebagai dhorof zaman karena menunjukkan waktu terjadinya peristiwa.
Apa Itu Dhorof Makan?
Sementara itu, dhorof makan adalah isim yang menunjukkan tempat terjadinya suatu peristiwa. Sama seperti dhorof zaman, ia juga dinashabkan karena menjadi wadah terjadinya fi’il dengan takdir makna fii.
Contoh kata dhorof makan:
-
أمام (di depan)
-
تحت (di bawah)
-
وراء (di belakang)
-
بين (di antara)
Contoh dalam kalimat:
جلستُ أمامَ المعلم
(Saya duduk di depan guru)
Kata أمامَ (di depan) menjadi keterangan tempat sehingga termasuk dalam dhorof makan.
Kapan Isim Tidak Disebut Dhorof?
Tidak semua kata benda (isim) yang berkaitan dengan waktu atau tempat otomatis bisa disebut dhorof. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya:
-
Bukan mubtada atau khabar
Contoh: مجلسك مجلسٌ حسنٌ (Majlismu adalah majlis yang baik).
Di sini, مجلس berfungsi sebagai mubtada, bukan dhorof. -
Tidak dalam bentuk majrur (berharakat jer)
Contoh: جلستُ في مجلسك (Saya duduk di majlismu).
Karena menggunakan huruf fi, maka bukan termasuk dhorof. -
Bukan maf’ul biasa
Contoh: علمتُ مجلسَك (Saya mengetahui majlismu).
Kata مجلسك adalah objek langsung, bukan dhorof. -
Tidak mengandung makna tetap waktu/tempat
Contoh: ذهبتُ مكة (Saya pergi ke Mekkah).
Kata مكة memang menunjukkan tempat, tetapi tidak selalu bermakna fii, sehingga bukan dhorof.
Apa yang Menyebabkan Dhorof Dinashabkan?
Dalam kaidah nahwu, terdapat istilah amil, yaitu faktor yang menyebabkan perubahan akhir kata (i’rab). Dhorof bisa dinashabkan oleh beberapa hal:
-
Fi’il (kata kerja)
رأيتُ زيدًا يومَ الجمعة
(Saya melihat Zaid pada hari Jumat) -
Masdar (kata dasar)
عجبتُ من نظري زيدًا يومَ الجمعة
(Aku kagum terhadap penglihatanku pada Zaid hari Jumat) -
Sifat (isim sifat)
أنا ناظرٌ زيدًا يومَ الجمعة
(Aku sedang memperhatikan Zaid hari Jumat)
Dalam kondisi tertentu, amil bisa dihilangkan sesuai kebutuhan struktur kalimat, misalnya saat dhorof berfungsi sebagai keterangan tempat, sifat, atau bagian dari silah mausul (anak kalimat penghubung).
Kriteria Isim yang Bisa Dijadikan Dhorof
1. Dhorof Zaman
Semua kata yang menunjukkan waktu bisa dijadikan dhorof, baik yang tidak spesifik (mubham) seperti لحظة (sejenak), maupun yang terbatas jumlah dan sifat, misalnya يومين (dua hari) atau يومًا واحدًا (satu hari saja).
2. Dhorof Makan
Hanya kata yang bermakna umum (mubham) atau mengandung ukuran tertentu (misalnya mil, meter, langkah) yang dapat berfungsi sebagai dhorof.
Contoh:
-
سرتُ ثلاثة أميال (Saya berjalan sejauh tiga mil)
-
جلستُ مجلسَ زيد (Saya duduk di tempat duduk Zaid)
Namun jika isim tempat tidak berasal dari fi’il, maka harus menggunakan huruf jar, misalnya:
جلستُ في مرمى زيد (Saya duduk di tempat sasaran Zaid).
Kesimpulan
Dhorof merupakan elemen penting dalam ilmu nahwu yang digunakan untuk menjelaskan waktu (dhorof zaman) dan tempat (dhorof makan) dalam sebuah kalimat. Dengan memahami konsep ini, pembelajar bahasa Arab dapat menyusun kalimat lebih tepat, baik untuk membaca teks klasik, kitab keagamaan, maupun percakapan formal.
Pemahaman mendalam terhadap kaidah ini bukan hanya penting secara akademis, tetapi juga menjadi bekal utama dalam menguasai bahasa Arab secara struktural dan komunikatif.